Peraturan Daerah RTRW Kota Depok Cacat Hukum

Beberapa kali Balaikota Depok didemo ratusan massa yang menolak perluasan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung, Kota Depok. Penolakan ratusan massa ini berasal dari warga Kelurahan Pasir Putih karena merasa paling merasakan dampak dari keberadaan TPA itu. Aksi demo ratusan massa itu berkaitan dengan rencana Pemerintah Kota Depok yang akan memperluas lahan TPA Cipayung seluas 6 hektar hingga ke Kelurahan Pasir Putih, Sawangan. Perluasan ini dilakukan karena TPA Cipayung diperkirakan tidak bisa menampung sampah lagi pada tahun-tahun mendatang.

Rencana Pemerintah Kota Depok yang ingin memperluas lahan TPA Cipayung ke Wilayah Kelurahan Pasir Putih sebenarnya mengacu pada dasar hukum Peraturan Daerah (Perda) Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok 2012-2032. Dalam Perda tersebut di pasal 32 ayat (5) huruf (a,b dan c ) menyatakan bahwa rencana pengembangan TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (20 huruf (b) meliputi p-enataan dan pengembangan TPA Cipayung dan pengembangan TPA di Kelurahan pasir Putih serta penyediaan buffer zone masing-0masing TPA sebesar 100 (seratur) meter.

Selanjutnya pada pasal 64 ayat (1) huruf (o) dan huruf (p) menyatakan tentang penataan dan pengembangan TPA Cipayung, TPA Pasir Putih dan UPS di seluruh Wilayah Kota. Serta Pembangunan Buffer Zone atau kawasan penyanggah di TPA Cipayung dan TPA Pasir Putih.

Melalui dasar hukum ini maka Pemerintah Kota Depok tetap ingin melanjutkan rencana perluasan lahan pengembangan TPA Cipayung ke TPA Pasir Putih, Apalagi pejabat terkait sudah mengatakan bahwa rencana pembangunan ini sudah disosialisasikan sebelumnya pada masyarakat.

Pertanyaannya, sosialisasi apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Kota Depok ? Apakah sosialisasinya dalam bentuk pemberitahuan setelah Perda RTRW Kota Depok disahkan atau sosialisasinya dilakukan sebelum Perda RTRW Kota Depok ini disahkan oleh DPRD Kota Depok. Terkait sosialisasi, faktanya dalam aksi demo di Balai Kota Depok, masyarakat justru menanyakan dimana sosialisasinya dan kapan dilakukan. fakta ini membuktikan bahwa sosialisasi yang dimaksud itu ternyata tidak ada sama sekali.

Merencanakan Peraturan Daerah tentunya harus berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Apalagi dalam setiap pembuatan Peraturan Daerah selalu tercantum muatan di Konsideran mengingat yang memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan yang memuat unsur filosofis, yuridis dan sosiologis. Dalam Konsideran mengingat pada Perda RTRW Kota Depok 2012-2032 tercantum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat.

Dalam Konsideran itu menyatakan dengan jelas bahwa Perencanaan Tata Ruang Wilayah harus melibatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang, Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang, Pasal (2) menyatakan bahwa masyarakat berperan dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Begitu juga dalam Pasal 5 huruf (a,b,c) menyatakan bahwa peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Selanjutnya dalam pasal (7) ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam perencanaan tata ruang dapat secara aktif melibatkan masyarakat. dan ayat (2) menyatakan bahwa masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang, yang memiliki keahlian di bidang penataan ruang, dan/atau yang kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang.

Sangat jelas dinyatakan bahwa dalam proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Khususnya tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok, Peran serta masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja. Apabila Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah atau Perda RTRW Kota Depok 2012-2032 dalam perencanaannya tidak melibatkan peran serta masyarakat, maka Peraturan Daerah tersebut dapat dinyatakan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan melanggar hukum atau boleh dikatakan Perda tersebut cacat hukum alias tidak sah.

Bagi masyarakat Kelurahan Pasir Putih yang keberatan terhadap pembangunan TPA Pasir Putih, masih ada upaya hukum yang harus dilakukan yakni dengan melakukan Judicial Review ke Mahkmah Agung (MA) terhadap Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok 2012-2032. Walaupun sebenarnya ada dua lembaga yang berwenang mereview. Pertama, berdasarkan Pasal 145 UU No 32 Tahun 2004 berikut perubahannya, ada kewajiban mengirimkan semua Perda yang sudah ditandatangani oleh Kementerian Dalam Negeri. Dalam dua bulan, Kementerian Dalam Negeri sudah bisa me-review. Kalau misalnya Perda tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Perda tersebut bisa dibatalkan. Kemudian yang kedua oleh Mahkamah Agung (MA), melalui mekanisme Judicial Review.

Menurut catatan penulis, Peraturan Daerah (Perda) RTRW Kota Depok 2012-2032 memang banyak kekurangannya, Perencanaannya tidak berdasarkan kajian yang jelas dan terukur. Bagaimana pembangunan bisa berjalan dengan baik bila Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nya tidak baik, Apalagi RTRW itu adalah sokoguru pembangunan. Karena itu untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari akibat perencanaan RTRW yang amburadul, baiknya Perda tersebut dibatalkan karena dalam mekanisme penyusunannya belum memenuhi unsur kelayakan hingga cenderung berpotensi cacat hukum.

Terkait dengan perencanaan yang tidak baik, misalkan sekedar contoh, dalam Perda RTRW Kota Depok 2012-2032, Kecamatan Sukmajaya tidak termasuk dalam Kawasan Rawan Banjir, Dalam Perda RTRW tersebut di pasal 43, paragraf 6 Tentang Kawasan Rawan Banjir. Pada ayat (2) menyatakan bahwa Kawasan Rawan Banjir meliputi, Kelurahan Depok, Kelurahan Mampang, Kelurahan Cimanggis, Kelurahan Sawangan, Kelurahan Kalimulya dan Kelurahan Cipayung.

Sedangkan berdasarkan catatan penulis, bahwa di Kecamatan Sukmajaya terdapat 61 titik Kawasan Rawan Banjir yang tersebar di enam Kelurahan di Wilayah Kecamatan Sukmajaya. Ke-61 titik rawan banjir tersebut terbagi dalam dua kategori kawasan, pertama adalah Kawasan Sangat Rawan Banjir (KSRB) dan kedua adalah Kawasan Rawan Banjir (KRB).

Berikut ini adalah 61 titik rawan banjir yang tersebar di enam Kelurahan di Wilayah Kecamatan Sukmajaya Kota Depok : Kelurahan Sukmajaya ada 15 titik rawan banjir, Kelurahan Mekarjaya ada 7 titik rawan banjir, Kelurahan Baktijaya ada 10 titik rawan banjir, Kelurahan Abadijaya ada 8 titik rawan banjir, Kelurahan Tirtajaya ada16 titik rawan banjir dan Kelurahan Cisalak ada 5 titik rawan banjir. 

Titik rawan banjir tersebut umumnya terjadi karena sistem drainase yang tidak berfungsi secara optimal dan tersumbatnya saluran-saluran air akibat membuang sampah sembarangan. Dan faktor lainnya adalah terkait dengan struktur tanah pada pemukiman dataran rendah.

Melihat berbagai kekurangan yang cenderung bermasalah itu, seyogjanya Pemerintah Kota Depok dapat mengkaji kembali terhadap keberadaan perda RTRW tersebut, apalagi Perda tersebut masih dalam proses administrasi di Propinsi Jawa Barat. Bila hal ini tidak dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok, maka terindikasi ada kepentingan terselubung dibalik perencanaan tata ruang wilayah di Kota Depok dan kepentingan ini cenderung berdampak merugikan masyarakat Kota Depok.

Berita Lainnya : 
 
Template Modify by
Creating Website

Proudly powered by
Blogger